Jumat, 07 November 2014

SEBUAH RAHASIA


SEBUAH RAHASIA
Aku adalah seorang yang selalu kalah di dalam hidupku. Kegagalan di setiap ujung jalan yang kutempuh, rasa sakit yang dihadiahkan kepadaku. Tangis di sela tawa palsuku.
Cewek kuat begitu yang mereka bilang padaku. Sebenarnya kenyataan menunjukkan tidak demikian, karena aku terbiasa menyeting wajahku, postur tubuhku dan semangatku sedemikian rupa sehingga semua orang melihat coverku yang sekuat besi.
“Mira, loe gak pernah nangis ya. Gue salut sama elo. Beda banget sama gue. Ibarat kata gue seperti ranting pohon dan loe batang pohon, beda banget. Apa sih rahasianya? Gue pengen banget tau.” kata seorang cewek yang agak gemuk, namun tidak mengurangi pancaran inner beautynya. Tidak lain dan tidak bukan, dia adalah Citra.
“huhhff.. entahlah Cit. Mungkin gue terinspirasi dari tokoh Wonder Women yang strong luar dalam. Hehe.” kataku sambil melahirkan naskah cerpen ketiga. Semoga kali ini, naskahku akan dimuat, dan aku bisa menjadi seorang penulis. Tunggu dulu.. Aku memang bibit penulis terkenal, namun memang cerpenku belum waktunya menetas ke tangan para penggemarku. Begitu keyakinanku setiap kali menulis. Tulisan adalah teman sejatiku. Disaat aku sedih, aku menulis, saat bahagia aku menulis dan terutama saat aku galau dengan kisah cinta masa sekarang yang lebaynya minta ampun. Kuakui kisah cinta anak muda jaman sekarang gak seromantis dulu, buktinya ada waktu aku lihat film bang Rhoma Irama yang romantis banget. Di film itu diceritakan bang Rhoma Irama menyanyikan lagu dangdut buat pacarnya, ciptaan sendiri pula. Berbeda dengan anak muda jaman sekarang yang nyanyiin lagu orang lain. Bukti kuat lainya yaitu pada film Habibie Ainun yang memecahkan rekor karena ditonton 3 juta orang 1 harinya. Dalam film itu, aku melihat 2 pasang sejoli yang saling mengasihi, tanpa adanya adegan ngambek-ngambekan saat masa pacaran. Bahkan saat Habibie berkata kepada Ainun “Ainun, kamu jelek, item, kaya’ gula jawa”, Ainun tidak marah seperti kebanyakan cewek jaman sekarang, dia Cuma tersenyum, juga teknologi yang belum maju saat itu membuat Ainun berkomunikasi dengan surat. Rasanya romantis banget, berbeda dengan sekarang yang memakai sms, sekali kirim bisa langsung dihapus. Semua yang klasik memang menyenangkan.
“Mira, pasti deh kalau loe lagi nulis, ujung-ujungnya kaya dunia Cuma milik loe sama lepi loe.” sahut Citra sambil memegang tanganku mencoba membangunkanku dari semua inspirasi yang masuk perlahan ke otakku.
“Eh, Cit. Tadi loe ngomong apa ya?” tanyaku memecahkan keheningan inspirasi yang lagi mekar-mekarnya.
“Ah, elo. Udah ketelen sama roti ni.” ucap Citra sambil mengunyah roti cokelat di genggaman tangannya.
“Ya ampun Cit. Loe udah habis berapa sih? Dari tadi makan roti cokelat melulu.”
“Baru 3 bungkus Mir. Lumayan ni rotinya enak. Gue tertarik sama bentuknya, kebetulan juga toko roti di seberang sono tuh lagi ada promo beli 2 dapat 3. Wkwk.” kata Citra dengan mulut penuh roti “Uhuk.. uhuk.” Gumpalan roti cokelat itu melayang ke novel yang ada di meja taman tempatku mengetik. Serombongan anak muda yang lagi nongkrong tak jauh dari tempatku duduk mengarahkan pandangan ke arah kami.
“Citra, pelan-pelan..” sembari ku menyodorkan air putih dalam botol minum tupperware pink ku.
Sesaat kemudian Citra kembali tersenyum, “Hehe. Udah-udah Mir.” Habis sudah persediaan air minumku. Aku membayangkan, andaikan aku dan Citra sedang di Gurun Gobi, dan kami melakukan perjalanan jauh hanya dengan satu botol air minum, pasti deh satu botol itu yang jadi harta karunnya. Udah dulu deh lamunannya. Terlalu banyak inspirasi membuat pikiranku berantakan seperti novel-novel yang berserakan di depan mataku.
“Mir, gue cabut dulu ya. Gue mau ada kuliah dadakan. Ni dah disms terus sama Antonie.”
“Ye elah. Kabur aja loe. Nih gumpalan cokelat loe mau dikasih ke gue?” tanyaku memanggilnya
Ku ambil sebuah novel yang baru ku beli di Gramedia. Gumpalan cokelat itu mendarat tepat di cover novel baruku yang masih perawan. OMG. Masalah ini harus segera kuatasi. Ku save naskah cerpenku. Kemudian kumatikan netbook putih kesayanganku, kumasukkan ke dalam tas ransel berbahan jeans. Trara. Kutenteng novel ke wastafel umum di pojok taman. Lap berbahan tissue dari dalam sakuku meluncur membersihkan gumpalan jorok hadiah dari Citra Marabunta. Sekarang terlihat judul Hujan.
tes.. tess.. tesss… gyurrr..
Hujan turun mendadak. Ah BT amat sih. “Hei hujan, gak tau apa kalo gue bawa netbook. Kalo gini kan jadi susah, mana gue gak bawa payung.”
Ku berlari sekuat tenaga berlindung ke arah pohon Mahoni yamg letaknya agak jauh disana. Saat berlari, aku terpeleset dan membuat bajuku basah terkena lumpur. Dan aku pikir. Bad day. Mungkin gara-gara novel payah di genggaman tanganku.
Seseorang menerobos hujan dengan payung hitam di genggaman tangannya. Dia mendekat, mendekat dan semakin dekat denganku. Terlihat wajah tampannya, tak sesuai dengan tingkahnya yang amat menyebalkan akhir-akhir ini. Siapa lagi kalau bukan sahabat sejatiku yang sekarang statusnya adalah mantan pacarku. Cerita singkatnya, aku lagi BT abis sama alien ini yang berlibur sama d’ganknya ke Jogja tanpa memberi kabar padaku di sana bertemu banyak cewek dan berfoto bersama. Walau aku tau, Hanung bukan tipe cowok penggoda cewek bohai nun jauh di sana, tapi harga diriku sebagai nominasi 10 besar cewek menarik di kampus harus dipertaruhkan demi menanggung malu ini. Akhirnya, demi menyelamatkan reputasiku yang terbina sekokoh tembok Cina, kata PUTUS pun meloncat dengan beratnya kepada cowok yang umurnya 1 tahun dibawahku. Walaupun hubungan kami sudah berjalan lamanya 1,5 tahun. Dia teman sekelasku dan membuatku marah hebat saat melihat mukanya setiap hari.
“Mira. Sini Mir. Loe ngapain sih lari-lari kaya’ diuber maling?” tanya Hanung sembari memayungiku dan menolongku berdiri
“Apaan sih elo, gue bisa jalan sendiri. Kaya’ anak TK aja dijemput segala.” kataku sedikit bernada tinggi. “aduh duh duh. Punggung gue.” erangku saat mencoba berdiri. Begini nih efek sampingnya kalau menghabiskan 6 jam standby tanpa istirahat di depan laptop.
“Udah lah. Sampai kapan loe mau pura-pura judes sama gue. Gue yakin loe masih sayang sama gue.”
Lalu dia memapahku menuju ke mobil sedan tak jauh dari taman. Aku hanya pasrah karena aku gak mampu berdiri tegak, sepanjang jalan aku hanya membungkukkan badan menatap jendela mobil yang basah diguyur hujan yang tak kunjung reda.
“Loe baik-baik aja Mir?” tanya Hanung sembari sesekali menengok ke arahku untuk memastikan keadaanku. Aku ngerasa males banget ngejawab pertanyaannya. Sesaat kemudian, aku merasa sangat lelah, dan kurasakan tubuhku nyaman sekali masuk ke sebuah rumah yang hangat, nyaman dan disana aku berdua sedang tertawa bersama dengan seorang cowok. Kurasakan nyaman bersandar di bahunya. Kami mengenakan baju putih dan duduk di teras penginapan bernuansa Pulau Dewata. Di jari manis kami, terpasang cincin emas polos tanpa mata. Di setting tersebut kami sedang memadu cinta karena kami sedang berbulan madu. Kulihat cowok itu memalingkan wajah ke arahku. Dia sudah tidak asing lagi bagiku, karena dia adalah Hanung. Sesaat kemudian dia memegang daguku, lalu dia mendekatkan wajahnya ke wajahku lalu sedetik kemudian bibirnya bertemu dengan bibirku. Kurasakan sensasi aneh disana. Semua kesedihanku perlahan terhapus, kebahagiaan perlahan berbinar dan..
Kubuka mata. Aku masih di mobil Hanung. Huh. Seperti biasa beberapa bulan ini, aku sering tertidur di mobilnya sampai lama, sering kali aku ditinggal sendiri bersama 1 botol teh hijau madu dan snack kentang kesukaanku. Namun kali ini lain, saat pertama kubuka mata, dia terlambat menghindar saat kutahu dia mencium bibirku. Wajahku semakin marah dan marah mengetahui dia mencuri ciuman berhargaku.
“Hanung, gue benci sama loe.” ucapku padanya. “Gue mau turun di sini”
Mempercayai orang ini memang suatu hal bodoh. Biarkan saja bajuku basah, laptopku juga basah, yang penting aku harus cari taksi buat pulang ke rumah.
Saat aku sudah turun dari mobilnya, dia tak kunjung pergi.
Kring Kringg
Hpku berbunyi. Aku berteduh di depan warung untuk mengangkat telpon dari adikku, Ani.
“Halo An. Ada apa?”
“Halo kak, kakak dimana?”
“Lagi berteduh di depan warung nih An. Sampaiin ijin ke mama kalau kakak telat pulang. Ini lagi nunggu taksi mau pulang.”
“Kak, maaf kak, Ani sekarang lagi ke Bali dadakan sama Papa, Mama, om Robi sama tante Yeni. Ani udah nyampai Surabaya Kak. Maaf sekali lagi kak, kunci rumahnya kebawa. Mbok Supiyem juga ikut ke Bali Kak. Jadi di rumah gak ada siapa-siapa.”
“Ha? Kok gak nunggu aku pulang sih?” kataku heran
“Habis Papa dapat tawaran dadakan dari om Robi sih, katanya ini syuting perdana Mancing Mania Kak. Jadi tadi habis ditelpon om Robi, Papa sama Mama kelabakan mempersiapkan barang yang dibawa. Soalnya cuma ada waktu setengah jam buat nyiapin semuanya, sampai-sampai lupa ngabarin Kak Mira. Maaf ya Kak.”
“Terus aku gimana nasibnya? Mau pulang kemana nih?”
“Halo Mira” suara ibuku mulai terdengar “Mira, maaf sekali lagi. Ani membawa kunci rumah sampai sini. Ibu sempat marah tadi. Tapi ibu udah ada ide sayang.”
“Ide apa Ma? Mira kedinginan di pinggir jalan ma. Mira Cuma bawa uang 50 ribu, baju mira juga basah. Coba habis ini Mira telpon Citra buat ijin menginap ya.”
“Mira.. Tadi Mama sudah telpon mamanya tunanganmu.”
“Hanung Ma?” tanyaku heran
“Iya sayang. Siapa lagi? Mama minta ijin buat Mira tinggal di rumah Hanung dulu sementara waktu. Lagian mama Hanung udah sangat dekat dengan mama. Gak usah khawatir Mira, di sana kamu bakal aman. Mama jamin. Tadi juga mama sudah telpon Hanung buat titip kamu.”
“Tapi Ma…” kucoba menyanggah. Namun tenggorokanku tiba-tiba kaku dan sakit ketika hampir kuutarakan kalau aku sudah putus dengan Hanung. Yah. Kuakui aku sudah tunangan sama dia. Namun, aku gak tahan sama sifat kekanak-kanakannya yang tidak mau mengerti aku saat ngambek. Itu aja.
“Udah dulu ya Mira. Hp mama lowbat.”
tut tut tut
“Halo.. halo..”
Huhuhu.. kenapa? kenapa?
Siapa yang akan kuhubungi sekarang? Citra.
“Halo.. Cit, tolongin gue.. tolongin gue.. hari ini gue nginep di rumah loe ya. Masa gue ditinggal sendirian ke bali”
Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, silahkan coba beberapa saat lagi. Ah, gimana ini? Sebel.
Cring
ponselku berbunyi, dari Hanung.
“Mira, ibu loe tadi telpon nitip loe ke gue.”
15 menit aku masih berdiri di depan warung, dan Hanung belum juga pergi dari mobilnya
“Mira, loe baik-baik aja? Please jangan keras kepala disaat seperti ini. Ayo pulang ke rumah. “
10 menit berlalu
“Gue jamin loe aman di rumah gue. Gue janji gak ngapa-ngapain loe. Toh gue masih sabar nunggu kita nikah”
hmm.. gimana ya? Tadinya aku takut, tapi ya udah lah yang penting nyokap udah tau, dan ada jaminan janjinya, soalnya emang sih selama ini, dia gak pernah melanggar janjinya.
Aku masuk ke mobil jazz warna putihnya. Dia tampak sangat sedih, dan ada bekas air mata di pipinya.
“Mir, gue nyesel banget dulu udah pernah mutus loe, gue akui, gue sayang banget sama loe. Gue bilang putus karena hasutan teman gue, emang gue bodoh.”
Dia mulai mengusap matanya dan aku hanya bisa menoleh ke arahnya.
“Selama ini, gue gak pernah mengkhianati loe Mir. Foto dulu itu, gue cuma ikut-ikutan foto, lagian itu rame-rame. Gue gak ada hubungan apa-apa sama cewek di foto itu. Apa loe masih gak percaya sama gue? Kalo gue selingkuh, sekarang gue gak bakal ada di sisi loe” Mata sedihnya bertatapan denganku,
Kami sudah sampai di garasi rumahnya.
“Gue.. gue.. beri waktu gue buat berpikir”
“Kamar loe di atas, di depan kamar gue. Yuk masuk”
Aku berjalan di belakang Hanung menuju kamarku. Badanku menggigil kedinginan.
“Nu, ini kamar gue?” tanyaku sambil menunjuk sebuah pintu kamar.
“Iya.”
“Hmmm.. Ngomong-ngomong, rumahnya kok sepi banget?”
“Oiya, gue lupa ngomong sama loe kalo serumah lagi pergi ke acara pernikahan tante gue di Balikpapan. Maaf baru kasih tau.”
Ha? Terus gue serumah sama Hanung berdua? Yang bener aja?
“Loe masuk kamar loe dulu. Gue ambilin baju ganti punya mama gue, pasti cukup buat loe. Gak usah takut, gue gak akan ngapa-ngapain loe. Nanti malam, kita makan di luar aja, soalnya gak ada makanan di rumah.”
“i.. iya.”
Kumasuki kamar yang gelap, kunyalakan lampu kamar, sungguh kamar yang sangat indah seperti kamar impianku. Kamar ini bergaya eropa dengan ukiran-ukiran klasik di bagian sudutnya. Aku baru ingat, dahulu aku pernah bercerita pada Hanung kalau aku pingin banget punya kamar bergaya Eropa dan serba putih. Dan ini sama persis di foto desain kamar yang aku pengen.
tok tok tok
“Mira, buka pintunya. Gue bawain baju ganti buat loe.”
Cklek
“Ni baju ganti buat loe. Cepetan mandi ya. Gue udah laper, habis ini kita keluar beli makan.”
“Iya. Eh nu, kamar ini bagus.”
“Ini kado buat loe Mir, gue pengen ngewujudin impian loe.”
Glam.. Hanung pergi dan menutup pintunya.
Aku bergegas mandi dan mengenakan baju dari Hanung. Hmm. Ternyata dia meminjamkanku sebuah dress putih selutut dengan lengan sesiku dan ini adalah piyama tidur. Aku tertawa kecil melihat baju ini. Masa mau keluar rumah pakai baju ini. Ckckck. Dia pasti gak tau kalau ini adalah baju tidur.
5 Menit kutunggu, tak terdengar suara ketukan pintu, aku beranikan diri mengetuk pintu kamarnya.
Tok tok
“Hanung.. Nu… loe di dalam?”
sing… tak terdengar suara. Aku takut dengan suasana ini. Sepi sekali.
Tiba-tiba.. Gratak
Suara jendela balkon yang bertiup angin mengagetkanku, aku kaget setengah mati dan kubuka pintu kamar di depan mataku. Ya ampun, sungguh tidak sopan masuk kamar tanpa ketuk pintu. Kulihat Hanung sudah mandi dengan rambut basahnya dan masih memakai baju santainya di rumah.
“Gue kira loe udah siap, maaf gue masuk kamar loe tanpa ketuk pintu, tadi gue kaget denger jendela balkon.”
“Iya gak papa Mir. Sini masuk.”
Aku duduk berjauhan darinya dan berdoa semoga tidak ada hal buruk menimpaku.
“Gue laper banget Mir. Ayo kita beli makan dulu.”
“Daripada beli, yuk kita buat makan malam sendiri. Gimana kalo nasi goreng? Loe pasti suka.” kataku padanya
“Beneran Mir?” Hanung bersorak kegirangan.
Aku melangkah ke dapur dengan Hanung di sampingku. Aku segera menyiapkan bumbu dan menggoreng nasi goreng kesukaannya. Trara.. siap.. Lalu kubuat 2 gelas susu strawberry..
Gyuuurrr.. Hujan lagi.. Tiba-tiba pet.. Lampu mati..
“AAAA… gue takut.” Ku mencengkeram tangannya dan tidak sengaja menginjak kakinya.
“Maaf Nu. Gue gak sengaja.”
“Iya gak apa-apa. Waduh mati lampu. Mana hujan gede kaya gini. Senter gue di atas. Gimana kalo makan di atas aja?”
“Iya deh. Cepet naik, gue takut gelap.”
Kami membawa nasi goreng dan susu ke atas. Sampai di kamar, Hanung menghidupkan 2 senter berbentuk lilin merah. Kami duduk bersebelahan di sofa klasiknya. Kami menghabiskan nasi goreng dengan lahapnya.
“Hmmm.. Enak banget Mir.”
Nasi goreng dan susunya habis ludes seketika. Dan aku pun hendak meneguk susu strawberry itu, namun saat habis separo, ada sesuatu keras mengenai ujung gigiku. Apa ini? Ku mendekat arah sinar senter, ha? Cincin? Kupegang benda kecil berwarna silver dengan mata berkilau di tengahnya
“Mira, mau gak loe jadi milik gue selamanya?” tanya Hanung padaku
Aku sangat kaget mendengar ini semua. Aku dilamar? Aku harus bilang apa?
“Gue.. gue.. tapi gue belum lulus kuliah Nu. Loe juga belum kan? Kita belum mapan.” jawabku grogi
“Gini Mira, sebenernya gue dari dulu udah kerja, kebetulan gue punya tambang batu bara di Kalimantan. Dan loe tau caffe Lovera yang sering kita datangi? Itu juga pribadi milik gue. Tentang kuliah, gak ada masalah. Gue juga udah minta restu sama bokap nyokap loe dan hasilnya boleh.”
“Tapi.. gue belum siap Nu..” Sungguh saat itu aku gak menyangka bakal dilamar.
Hanung mencium bibirku di kegelapan ini, dan aku membalasnya.
“Iya. Gue mau Nu..”
Yihaaa…. Hanung menari Gangnam Style dan Harlem Shake.
“Makasih sayang. I love you.”
“I love you too” Kami saling berpelukan
Aku menangis karena terharu. Begitu lucu caranya melamarku. Seminggu setelah itu, kami langsung menikah. Acara resepsi diadakan di halaman rumah Hanung yang sangat luas. Aku mengenakan gaun putih nan indah rancangan Vera Wang. Dan kutahu kini, ayah dan ibunya telah lama pindah ke rumah di kompleks Mekar Sari dan ini adalah hunian kami sekarang. Dan akhirnya, sebuah rahasia hidupku terungkap, dia adalah jodohku, dia adalah Hanung.
Cerpen Karangan: Silvina Ratri
Facebook: Silvina Ratri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar